Sabtu, 30 Juli 2011

2

Another finished book. 418 halaman buku ini gue habiskan dengan kurang lebih 3 jam. Ya, judulnya emang 2. Entah kenapa judul nya 2 tapi di dalamnya nggak ada hal yang menyangkut dengan angka 2 itu. Mungkin ada tapi gue nggak terlalu sadar atau bahkan nggak bisa menemukannya. Dari awal pas liat buku ini di tokok buku udah tertarik, covernya warna merah dengan angka 2 berwarna putih.

Buku ini semacam karya lanjutan dari Om Donny Dhirgantoro. Beliau juga penulis buku 5cm yang belum sempet gue baca, padahal udah ada di rak buku-_-. Gue lumayan suka sama gayanya om Donny ini, beliau tuh nggak kayak penulis kalo lo ketemu sama dia, malah bisa dibilang  orang yang humoris dan agak sedikit jayus, tapi tulisannya beh, baca aja sendiri.

Suka banget ceritanya, tentang perjuangan seorang anak yang mengidap penyakit keturunan gitu, dia nggak bisa berkurang berat badannya, entah apa nama penyakitnya. Umurnya diperkirakan cuma bisa sampai 25 tahun. Anak itu tumbuh dan terus tumbuh, dari kecil dia emang pengen jadi pemain bulutangkis tapi selalu nggak di bolehin karena takut anak itu kenapa - napa. Malangnya, anak itu baru dikasih tau tentang penyakitnya pas umur 18 tahun, dia langsung bertekad mau ngelawannya dengan latihan bulu tangkis. Dia latihan terus-terusan sampai menjadi juara internasional Indonesia Open gitu. Salut.

" Memutuskan untuk berani mencintai, dan mencintai dengan berani"

" Jangan pernah menyepelekan kemampuan manusia, karena Allah pun tidak pernah"

Jumat, 08 Juli 2011

9 Summers 10 autumns

SPEECHLESS.


Ngga tau mau nge describe apa tentang buku ini, cuma mau lo, lo, lo semua tau kalo gue bakal mengeluarkan 4 jempol kesayangn gue buat buku ini (Y) (Y) (Y) (Y).


DARI KOTA APEL, KE THE BIG APPLE.


Jadi, ceritanya orang yang hidup sederhana, tapi dia biasa ngeraih mimpi - mimpinya lewat kesederhanaan dan kehangatan keluarganya gitu. Lo nggak akan selalu dapet apapun yang lo mau. Kekayaan tuh nggak menjamin lo bahagia tau. Ngga ngerti lagi baca aja deh. 



Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi "teman bermain"-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.